dikutip dari website www.kompas.com
http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/10/05334528/cegah.bullying.sejak.dini
Jumat, 10 Oktober 2008 | 05:33 WIB
DI tahun 2007, beberapa kali kita dikejutkan oleh serangkaian berita-berita tentang kekerasan di sekolah dan geng remaja. Diawali dengan berita tentang Cliff Muntu-siswa STPDN, dan diakhiri dengan berita tentang geng Gazper di SMA 34 Pondok Labu. Ternyata di tahun 2008 kekerasan di kalangan remaja masih saja terjadi, berita yang terbaru adalah tentang ritual perpeloncoan geng remaja putri Nero dari Pati, kota kecil di Jawa Tengah dan kekerasan remaja putri di Kalimantan Tengah.
Seringkali kita merasa ngeri, prihatin dan tidak percaya dengan adanya fakta-fakta tersebut. Namun, tampaknya kekerasan memang telah menjadi bagian dari kehidupan remaja kita. Kekerasan antar sebaya atau bullying merupakan suatu tindak kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan seseorang atau kelompok, yang dimaksudkan untuk melukai, membuat takut atau membuat tertekan seseorang (anak atau siswa) lain yang dianggap lemah, yang biasanya secara fisik lebih lemah, minder dan kurang mempunyai teman, sehingga tidak mampu memertahankan diri. Alasan bullying seringkali tidak jelas, biasanya menggunakan kedok perpeloncoan, penggemblengan mental, ataupun aksi solidaritas.
Sebenarnya bullying tidak hanya meliputi kekerasan fisik, seperti memukul, menjambak, menampar, memalak, dll, tetapi juga dapat berbentuk kekerasan verbal, seperti memaki, mengejek, menggosip, dan berbentuk kekerasan psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan, mendiskriminasikan. Berdasarkan sebuah survei terhadap perlakuan bullying, sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka menerima perlakuan pelecehan secara psikologis (diremehkan). Kekerasan secara fisik, seperti didorong, dipukul, dan ditempeleng lebih umum di kalangan remaja pria.
Ada dua jenis pelaku bullying. Pertama, adalah pelaku utama, yaitu pihak yang merasa lebih berkuasa dan berinisiatif melakukan tindak kekerasan baik secara fisik maupun psikologis terhadap korban, dan kedua adalah pelaku pengikut, yaitu pihak yang ikut melakukan bullying berdasarkan solidaritas kelompok atau rasa setia kawan, konformitas, tuntutan kelompok, atau untuk mendapatkan penerimaan atau pengakuan kelompok. Di luar pihak pelaku dan korban sebenarnya ada sekelompok saksi, dimana saksi ini biasanya hanya bisa diam membiarkan kejadian berlangsung, tidak melakukan apapun untuk menolong korban, bahkan seringkali mendukung perlakuan bullying. Saksi cenderung tidak mau ikut campur disebabkan karena takut menjadi korban berikutnya, merasa korban pantas dibully, tidak mau menambah masalah atau tidak mau tahu.
Sebagai bagian dari masyarakat dan secara khusus sebagai orang tua, pasti kita bertanya-tanya mengapa remaja kita (bahkan remaja putri) dapat menjadi pelaku bullying, melakukan seangkaian kekerasan kepada sesama temannya. Perjalanan seorang anak tumbuh menjadi remaja pelaku agresi cukup kompleks, dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor; biologis, psikologis dan sosialkultural. Secara biologis, ada kemungkinan bahwa beberapa anak secara genetik cenderung akan mengembangkan agresi dibanding anak yang lain. Dalam bukunya Developmental Psychopathology, Wenar & Kerig (2002) menambahkan bahwa agresi yang tinggi pada anak-anak dapat merupakan hasil dari abnormalitas neurologis.
Secara psikologis, anak yang agresif kurang memiliki kontrol diri dan sebenarnya memiliki ketrampilan sosial yang rendah; anak-anak ini memiliki kemampuan perspective taking yang rendah, empati terhadap orang lain yang tidak berkembang, dan salah mengartikan sinyal atau tanda-tanda sosial, mereka yakin bahwa agresi merupakan cara pemecahan masalah yang tepat dan efektif. Jika kita runut dari lingkungan keluarga, anak-anak yang mengembangkan perilaku agresif tumbuh dalam pengasuhan yang tidak kondusif; anak mengalami kelekatan (attachment) yang tidak aman dengan pengasuh terdekatnya, orang tua menerapkan disiplin yang terlalu keras ataupun terlalu longgar, dan biasanya ditemukan masalah psikologis pada orang tua; konflik suami-istri, depresi, bersikap antisosial, dan melakukan tindak kekerasan pada anggota keluarganya.
Terjadinya kekerasan antar sebaya semakin menguat mengingat adanya faktor pubertas dan krisis identitas, yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Dalam rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja lalu gemar membentuk geng. Geng remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi geng kemudian ’menyimpang’ hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena ’balas dendam’ atas perlakuan penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya (misalnya saat di SD atau SMP).
Lingkungan secara makro pun turut berpengaruh terhadap munculnya bullying, baik secara langsung mauun tidak langsung. Secara sosiokultural, bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan masalah. Misalnya saja lingkungan preman yang sehari-hari dapat dilihat di sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok-kelompok massa. Belum lagi tontotan-tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak kasat mata, budaya feodal dan senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan menumbuhkan perilaku menindas.
Bullying harus diperangi. Bagaimanapun juga kita tidak dapat membiarkan generasi penerus kita menjadi penjahat-penjahat hak asasi manusia. Untuk mencegah dan menghambat munculnya tindak kekeraran di kalangan remaja, diperlukan peran dari semua pihak yang terkait dengan lingkungan kehidupan remaja. Sedini mungkin, anak-anak memperoleh lingkungan yang tepat. Keluarga-keluarga semestinya dapat menjadi tempat yang nyaman untuk anak dapat mengungkapkan pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaannya. Orang tua hendaknya mengevaluasi pola interaksi yang dimiliki selama ini dan menjadi model yang tepat dalam berinteraksi dengan orang lain. Berikan penguatan atau pujian pada perilaku pro sosial yang ditunjukkan oleh anak. Selanjutnya dorong anak untuk mengambangkan bakat atau minatnya dalam kegiatan-kegiatan dan orang tua tetap harus berkomunikasi dengan guru jika anak menunjukkan adanya masalah yang bersumber dari sekolah.
Untuk mencegah dan menekan tindakan bullying di sekolah, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah, terutama di sekolah dasar sebagai lingkungan pendidikan formal pertama bagi anak. Selama ini, kebanyakan guru tidak terlalu memperhatikan apa yang terjadi di antara murid-muridnya. Sangat penting bahwa para guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengenai pencegahan dan cara mengatasi bullying. Kurikulum sekolah dasar semestinya mengandung unsur pengembangan sikap prososial dan guru-guru memberikan penguatan pada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Sekolah sebaiknya mendukung kelompok-kelompok kegiatan agar diikuti oleh seluruh siswa. Selanjutnya sekolah menyediakan akses pengaduan atau forum dialog antara siswa dan sekolah, atau orang tua dan sekolah, dan membangun aturan sekolah dan sanksi yang jelas terhadap tindakan bullying.
Agnes Indar Etikawati, S.Psi, P.Si., M.Si, dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
1 comment:
gitu ya?
Supra Andalini Ferizky Shadena
Post a Comment